Poldasu Bongkar Tambang Ilegal Bitcoin, Akademisi: Dapat Mengedukasi Masyarakat
MEDAN
Jajaran Poldasu membongkar tambang ilegal bitcoin yang sekaligus melakukan pencurian arus listrik hingga merugikan negara belasan miliar. Informasi terbongkarnya persoalan bitcoin ini dinilai dapat menjadi momentum mengedukasi masyarakat.
“Seperti kita ketahui bitcoin adalah istilah yang belum terlalu umum di masyarakat. Karena itu momen penindakan yang dilakukan oleh Poldasu ini dapat sekaligus mengedukasi masyarakat sehingga lebih mengetahui tentang bitcoin,” ujar Dr Dedi Sahputra, MA dosen Fisipol Universitas Medan Area (UMA) di Medan, Rabu (3/1) menanggapi tindakan pengungkapan tambang bitcoin ilegal oleh Poldasu.
Menurutnya, masyarakat yang teredukasi oleh informasi tentang bitcoin, maka akan lebih sadar dalam interaksi menggunakan alat pembayaran digital tersebut, termasuk faktor negatifnya. “Apa yang dilakukan Poldasu adalah momentum yang baik sekali melakukan edukasi kepada masyarakat,” katanya.
Sebelumnya diberitakan, Ruko tempat beroperasinya tambang Bitcoin ilegal yang digerebek oleh Tim Direktorat (Dit) Reskrimsus Polda Sumut di Jalan Ringroad, Kecamatan Medan Sunggal ternyata mencuri arus listrik secara ilegal. Akibat pencurian listrik itu, negara rugi hingga Rp14,4 miliar.
Kapolda Sumut Irjen Pol Agung Setya Imam Effendi mengatakan bahwa pencurian listrik yang dilakukan oleh penambang bitcoin ilegal yang berada di 10 titik di Medan ini telah merugikan negara hingga belasan miliar rupiah.
Kata Kapolda, pencurian listrik ini kita lakukan tindakan di 10 titik yang kita ketahui bahwa listrik yang dicuri ini digunakan untuk menggerakkan mesin Bitcoin. Ada 1.300 mesin yang kita sita dan dari setiap mesinnya itu membutuhkan 1.800 watt.
Adanya operasi tambang bitcoin ilegal ini juga menimbulkan kerugian negara yang cukup besar. Berdasarkan perhitungan awal dari PLN, kerugian yang dialami selama 1 bulan mencapai 1.702.944 KWH atau senilai tagihan Rp. 2,46 miliar.
Penjelasan Tentang Bitcoin
Dari penelusuran beberapa sumber dapat dipaparkan bahwa bitcoin adalah salah satu bentuk New Payment Method (NPM) atau metode pembayaran baru berupa virtual currency yang masih belum mendapat pengaturan yang jelas dan tegas yang dalam penggunaannya sering dikaitkan untuk transaksi hasil suatu tindak pidana.
Dari pandangan agama Islam, berdasarkan hukum kripto di Indonesia sendiri, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan kripto tergolong haram, karena mengandung gharar (ketidakpastian) dan dharar (merugikan).
Bitcoin adalah uang tunai yang disimpan dalam komputer yang dapat digunakan untuk menggantikan uang tunai dalam transaksi jual beli online. Berbeda dengan mata uang online lainnya yang berhubungan dengan bank dan menggunakan sistem payment seperti paypal, bitcoin secara langsung distribusikan antara pengguna tanpa diperlukan .
Bitcoin dalam perdagangan internasional biasanya dipergunakan sebagai alat pembayaran jual beli online, namun bitcoin bukan merupakan mata uang virtual dan juga bukan alat pembayaran yang sah di Indonesia.
Dalam Penjelasan Pasal 202 Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/6/PBI/2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran (PBI 23/2021) dinyatakan bahwa Bitcoin, BlackCoin, Dash, Dogecoin, Litecoin, Namecoin, Nxt, Peercoin, Primecoin, Ripple, dan Ven adalah contoh dari virtual currency.
Vitual currency adalah uang digital yang diterbitkan oleh pihak selain otoritas moneter. Karenanya, penyedia jasa pembayaran (PJP) seperti bank atau lembaga selain bank yang menyediakan jasa untuk memfasilitasi transaksi pembayaran ke pengguna jasa dilarang menerima, melakukan pemrosesan, dan mengaitkan virtual currency dengan transaksi pembayaran. PJP juga dilarang memfasilitasi perdagangan virtual currency sebagai komoditas kecuali yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undanga.
Kemudian, menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (UU Mata Uang) pengertian uang adalah alat pembayaran yang sah. Sedangkan yang dimaksud dengan mata uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu rupiah.
Jika kita lihat definisi uang di atas, dapat diartikan bahwa uang adalah suatu alat pembayaran dan ketika uang diterbitkan oleh pemerintah atau otoritas yang berwenang, maka merupakan mata uang. Mata uang yang diakui di Indonesia menurut UU Mata Uang adalah rupiah.
Prinsipnya, berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang, rupiah wajib digunakan dalam: setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;
penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau transaksi keuangan lainnya,
yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Terkait dengan bitcoin ini, Bank Indonesia dalam lamannya yang berjudul Mata Uang Kripto (Cryptocurrency) menerangkan: Mata Uang Kripto (Cryptocurrency) adalah aset digital yang dirancang untuk bekerja sebagai media pertukaran yang menggunakan kriptografi yang kuat untuk mengamankan transaksi keuangan, mengontrol penciptaan unit tambahan, dan memverifikasi transfer aset. Mata uang kripto yang paling terkenal adalah bitcoin, selain bitcoin masih ada ribuan mata uang kripto, di antaranya ehtereum, litecoin, ripple, stellar, dogecoin, cardano, eos, tron.
Cryptocurrency yang ada saat ini tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, sehingga dilarang digunakan sebagai alat pembayaran di Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang yang menyatakan bahwa mata uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, atau kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang, atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib menggunakan Rupiah.
Namun demikian, Kementerian Perdagangan melalui Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) menerbitkan Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 7 Tahun 2020 tentang Penetapan Daftar Aset Kripto yang Dapat Diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto (“Peraturan Bappebti 7/2020”). Dengan adanya peraturan tersebut, mata uang kripto (cryptocurrency) yang kita ketahui saat ini bukan diakui sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah NKRI, melainkan sebagai aset kripto yang dapat diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto.
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Bappebti 7/2020 menyebutkan: Calon Pedagang Fisik Aset Kripto dan/atau Pedagang Fisik Aset Kripto hanya dapat memperdagangkan Aset Kripto di Pasar Fisik Aset Kripto yang telah ditetapkan oleh Kepala Bappebti dalam Daftar Aset Kripto yang dapat diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto.
Jika bitcoin digunakan alat transaksi pembayaran, maka bagi PJP yang melanggar dikenakan sanksi administratif berupa: teguran; penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan termasuk pelaksanaan kerja sama; dan/atau pencabutan izin sebagai PJP.
Selain itu, setiap orang yang tidak menggunakan rupiah dalam transaksi pembayaran atau transaksi keuangan lainnya dipidana kurungan paling lama 1 tahun dan pidana denda paling banyak Rp200 juta.
Jadi berdasarkan penjelasan tersebut dapat kita simpulkan bahwa bitcoin bukan merupakan mata uang atau alat pembayaran yang sah di Indonesia. Hal serupa juga ditegaskan oleh Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, bahwa mata uang kripto atau cryptocurrency seperti bitcoin bukan alat pembayaran yang sah di Indonesia. Hanya ada rupiah sebagai mata uang di Indonesia sehingga alat pembayaran baik berbentuk koin, uang kertas, dan uang digital harus menggunakan rupiah, tegasnya. Bitcoin di Indonesia bukan diakui sebagai mata uang atau alat transaksi melainkan sebagai aset kripto yang bisa diperdagangkan.